:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/3252990/original/059502000_1601394757-Bisnis_Online.jpg)
Liputan6.com, Jakarta Di era global saat ini, kepatuhan terhadap regulasi menjadi pilar utama yang harus diperkuat oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Tekanan internasional menuntut perusahaan untuk membangun sistem tata kelola yang kuat dan transparan.
Memenuhi standar global sangat penting untuk memastikan kelancaran operasional bisnis dan menjaga kepercayaan di pasar internasional.
Regulasi global seperti undang-undang anti-korupsi, pengendalian ekspor, dan sanksi ekonomi kini tidak lagi terbatas pada negara maju. Perusahaan Indonesia, khususnya yang terlibat dalam perdagangan lintas negara, juga terdampak dan harus mulai menyesuaikan diri dengan standar internasional.
Kepatuhan bukan hanya soal dokumen. Yang lebih penting adalah membangun budaya perusahaan yang menjunjung tinggi etika, transparansi, dan akuntabilitas.
Kepemimpinan yang kuat serta kesadaran di semua tingkatan organisasi menjadi kunci dalam mewujudkan hal ini. Ketika sistem internal sudah kokoh, risiko pelanggaran dan sanksi dapat diminimalkan.
Manajemen risiko juga harus terintegrasi dengan strategi bisnis. Regulasi global terus berkembang seiring dengan dinamika geopolitik dan kemajuan teknologi.
Oleh karena itu, perusahaan harus tetap gesit dan terus memperbaharui pengetahuannya agar tidak tertinggal. Untuk menghadapi tantangan ini, perusahaan memerlukan panduan dan dukungan yang konkret.
Forum berbagi pengetahuan menjadi sarana penting dalam memberikan hal tersebut. Salah satu forum tersebut adalah workshop bertajuk “Penguatan Kepatuhan dan Manajemen Risiko di Indonesia” yang diselenggarakan Moores Rowland Indonesia.
Penasihat Senior di Moores Rowland Indonesia Marzuki Darusman menekankan perlunya Indonesia segera menetapkan definisi konflik kepentingan, baik dalam hukum maupun praktik. Ia menyebutkan bahwa ketiadaan definisi ini dalam regulasi saat ini menjadi hambatan besar dalam pemberantasan korupsi.
“Kompleksitas regulasi internasional semakin meningkat. Perusahaan tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan reaktif; mereka harus secara proaktif membangun sistem kepatuhan,” ujar Marzuki.
Strategi Menjaga Keberlanjutan Bisnis
… Selengkapnya
Sementara itu, Direktur Manajemen Audit Internal di Danantara Ahmad Hidayat menyampaikan sambutan mewakili Menteri Investasi dan Hilirisasi serta CEO Danantara, Rosan Roeslani.
“Kepatuhan bukan sekadar kewajiban; ini adalah strategi untuk menjaga keberlanjutan bisnis,” ujarnya.
Partner di Steptoe | Hong Kong Wendy Wysong menjelaskan sejumlah regulasi utama dari Amerika Serikat seperti Foreign Corrupt Practices Act, Foreign Extortion Prevention Act, dan Export Controls.
Dia menekankan bahwa regulasi ini dapat berdampak langsung terhadap perusahaan Indonesia yang terlibat dalam perdagangan internasional.
Dia juga menyoroti bahwa banyak negara besar lain yang menjadi mitra dagang memiliki undang-undang anti-korupsi mereka sendiri, bahkan beberapa di antaranya lebih luas dari regulasi Amerika Serikat.
Oleh karena itu, perusahaan di Indonesia tidak bisa berasumsi bahwa ketiadaan hubungan langsung dengan AS membuat mereka bebas dari kewajiban kepatuhan.
“Kepatuhan terhadap hukum internasional bukan pilihan, ini adalah keharusan jika ingin tetap bersaing di pasar global,” tegasnya.
Wendy Wysong menambahkan bahwa langkah kepatuhan yang proaktif seharusnya dipandang sebagai investasi yang memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Tata Kelola Perusahaan Beintegritas
… Selengkapnya
Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menekankan pentingnya membangun tata kelola perusahaan yang berlandaskan integritas.
“Implementasi kebijakan anti-korupsi harus menjadi bagian integral dari strategi perusahaan, bukan sekadar dokumen formal,” ujarnya.
Setelah itu, Ali Burney, juga Partner di Steptoe | Hong Kong, membahas topik mengenai sanksi ekonomi AS, pendanaan terorisme, dan undang-undang anti pencucian uang. Menanggapi pertanyaan dari peserta, ia menyampaikan bahwa membela diri dari tuduhan korupsi seringkali lebih mahal dibandingkan dengan membangun sistem pencegahan sejak awal.
“Perusahaan perlu memiliki mekanisme deteksi dan pelaporan yang andal untuk mengantisipasi risiko keuangan,” tegasnya.